Kerugian atau Sekadar Boros? Audit Kinerja dalam Perspektif yang Lebih Santai
- Angela Simatupang
- Jun 13
- 2 min read
Entah lagi bahas pengadaan, proyek, atau laporan keuangan, satu pertanyaan yang sering mampir ke saya:“Ini termasuk kerugian, atau cuma... kelihatan boros aja?”
Wajar sih. Banyak orang masih melihat audit sebagai urusan cari salah, bongkar temuan, dan hitung-hitungan uang negara yang hilang. Padahal di dunia audit kinerja, ceritanya nggak sesempit itu.
Audit Kinerja Itu Bukan Soal Salah-Benar Aja
Audit kinerja sebenarnya lebih ke ngecek:
Apakah prosesnya efisien?
Tujuannya tercapai nggak?
Biayanya masuk akal?
Kalau jawabannya “nggak”, bisa jadi ada masalah — walaupun belum tentu langsung rugi. Dari sini, kita bisa nemuin bukan cuma kerugian nyata, tapi juga potensi kerugian, pemborosan, atau sekadar proses yang bikin pusing sendiri.
Kerugian vs Potensi Kerugian: Tipis Batasnya
Contohnya gini:Kamu bayar Rp100 ribu buat makan siang, tapi yang datang cuma sepiring kerupuk dan air putih. Itu jelas kerugian nyata.
Tapi kalau kamu baru pesan, dan restorannya terkenal sering telat atau salah kirim, itu potensi kerugian — belum kejadian, tapi risikonya udah kebayang.
Audit kinerja banyak nemuin yang model begini: belum rugi sekarang, tapi kalau dibiarin, bisa jadi masalah ke depan.
Potensi Penerimaan yang Hilang: Harusnya Bisa Dapat, Tapi Nggak Masuk
Nggak cuma soal uang keluar, kadang auditor juga nemuin potensi pemasukan yang nggak dimanfaatkan. Bukan karena bocor, tapi karena peluangnya nggak diambil.
Misalnya:
Ada retribusi atau pungutan yang belum tertagih gara-gara sistemnya belum jalan maksimal.
Aset negara (gedung, tanah) nganggur padahal bisa disewakan.
Tarif belum pernah disesuaikan sejak jaman dulu kala.
Kebijakan belum ada cara ngukurnya, jadi nggak tahu apakah sudah kasih dampak optimal atau belum.
Uangnya nggak hilang, tapi... sayang banget kan?
Boros vs Rugi: Beda Tapi Serupa
Kadang pengeluaran itu sah-sah aja secara aturan, tapi tetap terasa boros.
Contohnya: beli printer Rp 20 juta padahal cukup Rp 5 juta. Atau proyek molor karena alurnya ribet banget. Nggak ada pelanggaran, tapi publik tetap dirugikan secara tidak langsung.
Auditnya Pakai Panduan Apa?
Secara global, ada dua acuan besar:
ISSAI 3000 dari INTOSAI, yang jadi dasar audit kinerja di banyak negara — termasuk di Indonesia, digunakan oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan juga jadi rujukan utama bagi APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah) dalam audit kebijakan dan program pemerintah.
GAGAS (Yellow Book) dari GAO Amerika Serikat, yang gayanya praktis dan sistematis — sering juga dipakai sebagai referensi tambahan oleh auditor internal dan konsultan kinerja.
Dua-duanya sama-sama ngasih pegangan penting: audit kinerja itu bukan soal cari siapa yang salah, tapi soal melihat apakah program publik benar-benar kasih nilai buat masyarakat.
Dari pengalaman saya sendiri, audit kinerja justru paling terasa manfaatnya saat bisa jadi bahan belajar bareng — bukan cuma buat nunjuk salah, tapi buat perbaiki bareng-bareng. Dan sering kali, tantangan terbesarnya adalah... menjelaskan kenapa sesuatu yang “nggak efisien” itu penting untuk dibenahi sebelum telanjur jadi masalah besar.
Lalu, Buat Apa Sih Semua Ini?
Karena dana publik itu milik kita semua.
Audit kinerja bantu memastikan setiap rupiah digunakan sebaik mungkin — bukan cuma legal, tapi juga benar-benar memberi manfaat.
Dengan memahami bahwa tidak semua masalah anggaran berarti uang hilang, kita bisa melihat laporan audit dengan lebih jernih, lebih bijak, dan lebih siap mendorong perbaikan tata kelola publik ke arah yang lebih baik.
Comments